Nama : Prantiko Airlangga Sakti
Kelas : 2EB24
NPM : 26213891
Kelas : 2EB24
NPM : 26213891
BAB V
HUKUM
PERJANJIAN
A. Pengertian
1. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata berbunyi :
“Suatu
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ketentuan pasal ini sebenarnya
kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan- kelemahan
itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:
a)
Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
b)
Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
c)
Pengertian perjanjian terlalu luas
d)
Tanpa menyebut tujuan
e)
Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
f)
Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah
ini:
1.
syarat ada persetuuan kehendak
2.
syarat kecakapan pihak- pihak
3.
ada hal tertentu
4.
ada kausa yang halal
2.
Menurut Rutten
Perjanjian
adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari
peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua
atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi
kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan
atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
3.
Menurut adat
Perjanjian
menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada
orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan
pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
Pengertian
perjanjian internasional, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan
oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untu mengadakan akibat-akibat hukum
tertentu
2. Konvensi Wina 1986, Perjanjian internasional
sebagai persetujuan internasional yang diatur menurut hukum internasional dan
ditanda tangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau lebih dan antara
satu atau lebih organisasi internasional, antarorganisasi internasional.
3.
UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, perjanjian internasional
adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh hukum
internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah RI dengan satu atau
lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya,
serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah RI yang bersifat hukum
publik.
4.
UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional
adalah perjanjian dalam bentukdan nama tertentu yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban
di bidang hukum publik.
5.
Oppenheimer-Lauterpact, Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan
antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara pihak-pihak yang
mengadakan.
6.
Dr. B. Schwarzenberger, Perjanjian internasional adalah persetujuan antara
subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat
dalam hukum internasional, dapat berbentuk bilateral maupun multilateral.
Adapun subjek hukum yang dimaksud adalah lembaga-lembaga internasional dan
negara-negara.
7.
Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmaja, S.H. LLM, Perjanjian internasional adalah
perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan
akibat-akibat tertentu.
Jadi,
negara-negara dalam melaksanakan hubungan atau kerjasamanya membuat perjanjian
internasional. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, disimpulkan bahwa
perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh subjek-subjek
hukum internasional dan mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum
tertentu.
B. Syarat –
Syarat Sah Hukum Perjanjian
Hukum
adalah sebuah system yang menetapkan suatu tingkah laku yang diperbolehkan,
dilarang, atau yang harus dikerjakan. Berikut ini syarat sah hukum perjanjian
yang penting dicatat, yaitu :
• Terdapat kesepakatan antara dua pihak ;
• Kedua pihak mampu membuat sebuah
perjanjian ;
• Terdapat suatu hal yang dijadikan
perjanjian ;
• Hukum perjanjian dilakukan atas sebab yang
benar.
Selain
poin diatas, sebuah perjanjian dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi dasar
dan syarat – syaratnya. Berikut ini merupakan syarat sah sebuah perjanjian yang
harus diperhatikan. ;
1. Keinginan Bebas dari Pihak Terkait
Yang
berarti bahwa pihak – pihak yang terlibat tidak dalam unsur paksaan, ancaman,
maupun segala hal yang berbau tipu daya.
2. Kecakapan dari Pembuat Perjanjian
Perjanjian
harus dibuat oleh pihak – pihak yang secara hukum dianggap cakap untuk
melakukan tindakan hukum. Contoh yang tidak cakap dalam melakukan tindakan
hukum antara lain anak – anak, orang cacat, dll
3. Ada Objek yang diperjanjikan
Perjanjian
harus bersifat nyata / tidak fiktif
C. Macam –
Macam Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu
tujuan atau agreement. Bentuk perjanjian internasional yang dilakuka
antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini tidak harus berbentuk
tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur perjanjian
tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek.
Yang dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum
internasional, terutama negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang
dimaksud dengan obyek hukum internasional adalah semua kepentingan yang
menyangkut kehidupan masyarakat internasional, terutama kepentingan ekonomi,
sosial, politik, dan budaya.
A.
Perjanjian Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah
peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum
internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional, dsb). Kaidah
hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus dan bercorak
perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus tunduk secara
penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari perjanjian
tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak
akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan
kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan.
Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua
pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak
ke dalam perjanjian tersebut.
B.
Perjanjian Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang
peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua
subjek hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian
multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung
pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral
yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
masalah yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau
yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus
tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian
bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya semata. Sedangkan
perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki corak terbuka. Maksudnya,
isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian itu tidak saja
bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum internasional
yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut, tetapi juga
kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks negara, pihak lain
atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara di dunia, bisa
sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja. Dalam
kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang membuka diri
bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut.
Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini cenderung berkembang
menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum atau universal.
D. Jenis –
Jenis Kontrak
Tentang
jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang
umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas
beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-Cuma.
Kontrak
timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak
menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan
debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak
lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak
sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi
dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian
pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian
pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti
penting pembedaan tersebut ialah :
• Berkaitan dengan aturan resiko, pada
perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian
timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli..
• Jika suatu perjanjian timbal balik
saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi
seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP.
Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan
perjanjian tersebut.
Kontrak
menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak
nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP
tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar,
sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian
kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan
kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam
masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum
perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan,
franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak
menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak
lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan.
Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya
merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu
kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak
tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat
oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam
kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320
KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
Komentar
Posting Komentar